PENERAPAN ANGKA INDEKS PADA STATISTIKA EKONOMI


Salsabila Aminudin
4 PS B
1617202081
A. Pengertian Angka Indeks dan Penerapannya dalam Statistika Ekonomi
          Setiap kegiatan selalu mengalami kemajuan atau kemunduran, kadang-kadang produksi meningkat. Hasil penjualan suatu perusahaan dapat meningkat dan juga menurun, hasil penerimaan devisa mengalami naik-turun, pendapatan nasional kadang-kadang naik kemudian merosot lagi, juga harga, gaji, dan biaya hidup selalu mengalami naik-turun. Untuk mengetahui maju-mundurnya suatu usaha (perusahaan ingin mengetahui maju-mundurnya hasil penjualan, pemerintah ingin mengetahui maju mundurnya penerimaan negara, penerimaan devisa, dan lain sebagainya) diperlukan angka indeks.
      Angka indeks atau sering disebut indeks saja, pada dasarnya merupakan suatu angka yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan perbandingan antara kegiatan yang sama (produksi, ekspor, hasil penjualan, jumlah uang beredar, dan sebagainya) dalam dua waktu yang berbeda. Dari angka indeks bisa diketahui maju-mundurnya atau naik-turunnya suatu usaha atau kegiatan. Jadi, tujuan pembuatan angka indek sebetulnya adalah mengukur secara secara kuantitatif terjadinya perubahan dalam dua waktu yang berlainan, misalnya indeks harga untuk mengukur perubahan harga (berapa kenaikannya atau penurunannya), indeks produksi untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam kegiatan dalam kegiatan produksi, indeks biaya hidup untuk mengukur tingkat inflasi , dan lain sebagainya. Dengan demikian, angka indeks sangat diperlukan oleh siapa saja yang ingin mengetahui maju-mundurnya kegiatan atau usaha yang dilaksanakan, seperti pemilik perusahaan, para pejabat pemerintah, para ahli ekonomi dan sosial (untuk melihat perkembangan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat), para pendidik, ahli agama, penegak hukum (untuk melihat naik-turunnya pelanggaran hukum yang terjadi), dan lain sebagainya. Itulah sebabnya baik pemerintah (melalui Badan Pusat Statistik atau instansi-instansi pemerintah lainnya) maupun perusahaan-perusahaan yang menganut modern management membuat berbagai macam indeks untuk keperluan pemantauan (monitoring) atau evaluasi.
         Di dalam membuat angka indeks diperlukan dua macam, yaitu waktu dasar (base period) dan waktu yang bersangkutan atau sedang dalam berjalan (current period).
         Waktu dasar adalah waktu dimana suatu kegiatan (kejadian) dipergunakan sebagai dasar perbandingan, sedangkan waktu yang bersangkutan ialah waktu dimana suatu kegiatan (kejadian) dipergunakan sebagai dasar perbandingan, sedangkan waktu yang bersangkutan ialah waktu dimana suatu kegiatan (kejadian) dipergunakan sebagai dasar perbandingan terhadap kegiatan (kejadian) pada waktu dasar. 
Contoh:
       Jumlah produksi barang A yang dihasilkan oleh PT. Sarla selama tahun 2006 dan 2007 masing-masing adalah 150 ton dan 225 ton. Hitunglah indeks produksi masing-masing tahun.

Penyelesaian:
      Jika dibuat indeks produksi tahun 2007 dengan waktu dasar 2006, maka produksi pada tahun 2006 dipergunakan untuk dasar perbandingan, sedangkan produksi tahun 2007 (waktu yang bersangkutan) akan diperbandingkan terhadap produksi tahun 2006 tadi.
Indeks prduksi 1996 adalah 225/150 x 100 % = 150 % (ada kenaikan produksi 50%). Apabila produksi tahun 2006 sama dengan 125 ton, maka indeks produksi 2007 adalah 125/150 x 100 % = 83,33 % (ada penurunan produksi sebesar 16,67%).

      B. Indeks Harga Relatif Sederhana dan Agregatif
Dua tipe angka indeks dapat dibedakan yakni indeks harga relatif sederhana (simple relative price index) dan indeks bersusun (agregarif).
1.       Indeks Harga Relatif Sederhana (Simple Relative Price Index)
Merupakan indeks yang terdiri dari satu macam barang saja, baik untuk indeks produksi maupun indeks harga. Misalnya: indeks harga karet, indeks harga ikan, dll.
Rumus Indeks Harga Relatif Sederhana (Simple Relative Price Index)
                       Lt,0   = indeks harga pada waktu t dengan waktu dasar 0
                         Pn   = harga pada waktu yang ditentukan
                          Po  = harga pada waktu tahun dasar

2.        Indeks Harga Bersusun (Agregatif)
Merupakan indeks yang terdiri dari beberapa barang (kelompok barang), misalnya indeks harga macam bahan pokok, indeks Impor dan Ekspor Indonesia, indeks harga bahan makanan, indeks biaya hidup, indeks hasil penjualan suatu perusahaan (lebih dari satu barang yang dijual), dll. Indeks harga agregatif memungkinkan kita untuk melihat persoalan secara agregarif (secara makro), yaitu secara keseluruhan, bukan melihat satu per satu (per individu). 
Rumus Indeks Harga Bersusun (Agregatif)
                           lt,0   = indeks produksi pada waktu t dengan waktu dasar 0
                            Qn  = Kuantitas pada tahun yang ditentukan
                            Q0   = Kuantitas pada tahun dasar

Contoh:
Tabel dibawah ini menyajikan data-data perdagangan beberapa hasil pertanian di Jakarta dari tahun 1992-1997. Hitunglah indeks harga pada tahun 1995, 1996, dan 1997 dengan waktu dasar tahun 1992.

Penyelesaian:
Jenis Pertanian
1992
1993
1994
1995
1996
1997
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Beras
66.368
67.337
81.552
100.209
101.382
111.180
Jagung kuning
34.877
39.829
45.850
50.000
62.740
66.208
Kacang kedelai
110.505
116.458
121.542
115.052
114.800
125.733
Kacang hijau
111.528
111.063
127.108
128.750
163.042
192.771
Kacang tanah
161.243
198.271
209.542
200.000
228.792
223.250
Ketela pohon
15.433
13.853
20.538
26.944
26.079
24.3119
Ketela rambat
22.033
22.273
29.831
36.698
35.668
35.131
Kentang
46.984
55.110
85.183
82.404
93.713
121.920


                b. Untuk tahun 1996
               I 96/92    = P 96/92 x 100%
                              = 101.382/66.368 x 100%

                              = 152,76%
               c. Untuk tahun 1997
            I 97/92      = P 97/92 x 100%
                             = 111.183/66.368 X 100 % 
                             = 167,52%
Jadi, dibandingkan dengan harga beras tahun 1992, harga beras tahun 1995 naik 150,99% - 100% = 50,99%. Pada tahun 1996 naik 52, 76%, dan pada tahun 1997 naik 67,52%.[1]

                C. Metode Penyusunan Angka Indeks
    1. Angka Indeks Agregatif Tertimbang
Merupakan indeks yang dalam bentuk pembayarannya telah dipertimbangkan faktor-faktor yang akan mempengaruhi naik-turunnya angka indeks tersebut.[1] Angka indeks agregatif tertimbang tidak lain adalah angka indeks nilai (value index). Untuk keperluan perhitungan indeks tersebut kita tidak hanya memperhatikan data harga tetapi juga data kuantitas.
Rumus Angka Indeks Agregatif Tertimbang:
Pn  = Harga pada tahun yang ditentukan
 P0 = Harga pada tahun dasar
 W = Jumlah barang yang akan di produksi

a.       Metode Angka Indeks Agregatif Tertimbang
      1) Laspayres
Contoh:
     Volume dan harga beberapa bahan ekspor diluar minyak bumi periode 1982/1983 dan 1983/1984 disajikan dalam tabel dibawah ini. Volume dinyatakan dalam ribuan ton harga dinyatakan dalam ribuan US dolar.

Indeks Tertimbang Laspeyres dari 10 Bahan Ekspor di Luar Minyak Bumi 1982/1983 – 1983/1984
Jenis Bahan
Harga
Kuantitas
1982/1983
Qo
Pn.Qo
Pn.Qo
1982/83 (Po)
1983/84
(Pn)
Kayu
21,66
45,84
12.698,6
582.103,82
275.051,68
Karet
255,65
537,31
827,3
444.516,56
211.499,24
Minyak Sawit
170,33
321,70
246,0
79.138,20
41.901,18
Timah
3.370,19
4.661,90
20,8
96,967,52
70.099,95
Hasil tambang di luar timah
11,74
30,51
5.469,7
75.075,96
28.888,62
Hewan dan hasil hewan lainnya
421,05
1.067,37
100,7
107.484,16
42.399,74
Teh
677,63
682,71
45,6
31.131,58
30.899,93
Tembakau
1.181,48
1,314,12
27,0
35.481,24
31.899,96
Lada
848,98
1.218,25
24,5
29.847.12
20.800,01
Tapioka dan bahan makan lainnya
41,20
49,22
907.7
44.676,99
37.397,24




1.526.423,15
790.837,55


Indeks 10 bahan ekspor di luar minyak bumi 1982/1983 = 100. Indeks tertimbang Laspeyres 10 bahan ekspor di luar minyak bumi adalah:

Nilai 10 bahan ekspor di luar minyak bumi 1983/1984 mengalami kenaikan 93,01% dari nilai ekspor 1982/1983

2) Paasche 
Contoh:
Sebagai contoh, kita akan menggunakan tabel yang ada di atas:
    Indeks Tertimbang Laspeyres dari 10 Bahan Ekspor di Luar Minyak Bumi 1982/1983 – 1983/1984
Jenis Bahan
Harga
Kuantitas
1982/1983
Qo
Pn.Qo
Pn.Qo
1982/83 (Po)
1983/84
(Pn)
Kayu
21,66
45,84
15.708,4
720.073,06
340.243,94
Karet
255,65
537,31
900,6
483.901,39
230.238,39
Minyak Sawit
170,33
321,70
277,9
89.400,43
47.334,71
Timah
3.370,19
4.661,90
21,0
97.899,90
70.773,99
Hasil tambang di luar timah
11,74
30,51
2,543,6
77.605,24
29.861,86
Hewan dan hasil hewan lainnya
421,05
1.067,37
95,8
102.254,05
40.336,59
Teh
677,63
682,71
45,7
31.199,85
30,967,96
Tembakau
1.181,48
1,314,12
34,7
45.599,96
40.997,36
Lada
848,98
1.218,25
25,2
30.699,90
21.397,30
Tapioka dan bahan makan lainnya
41,20
49,22
1.145,9
56.401,20
47.211,08




1.735.034,98
899.359,91


Indeks 10 bahan ekspor di luar minyak bumi 1983/1984 = 100. Indeks tertimbang Paasche 10 bahan ekspor di luar minyak bumi adalah:
Berdasarkan indeks tertimbang Paasche, nilai 10 bahan ekspor di luar minyak bumi mengalami kenaikan 92,92%

b.       Rata-rata harga relatif tertimbang (Weighted Averages of Price Relatives)
           Angka indeks dapat disusun dengan cara pertama-tama secara terpisah menghitung indeks (atau secara relatif) untuk masing-masing jenis barang dan kemudian dihitung indeks keseluruhannya.
           Dalam metode rata-rata harga relatif tertimbang ini akan kita kerjakan hal-hal yang sama dengan tambahan berupa pemasukan unsur timbangan (weight) dengan rumus:


Dimana W menunjukkan timbangan, dalam hal ini berupa nilai atau perkalian antara harga dengan kuantitas (p x q). Timbangan nilai (value) ini dapat kita gunakan nila pada tahun dasar (V0 = Q0 x Qn) ataupun nilai pada tahun yang ditentukan (Vn = Pn x Qn). Bila digunakan timbangan nilai pada tahun dasar maka rumusnya menjadi:
Sedangkan bila digunakan timbangan nilai pada tahun yang ditentukan rumusnya adalah:
Contoh:

Indeks Tertimbang dengan Metode Rata-Rata Harga Relatif dari 5 Jenis Hasil Palawija

Palawija
/
( )
/
( )
Kacang tanah
69,1
202,0
741
937
2,92
51203,1
189.234,0
149.513,05
552.680,08
Gaplek
31,0
66,1
958
1,499
2,13
29.698,0
99.083,9
63.256,74
211.048,71
Kedelai
43,9
100,0
39
30
2,28
1.712,1
3.000,0
3.903,59
6.840,00
Tapioka
40,5
98,9
278
400
2,44
11.259,0
39.560,0
27.471,96
96.526,40
Jagung
56,8
130,0
2,341
3,242
2,29
132.968,8
421.460,0
304.498,55
965.143,40






226.841,0
752.377,9
548.643,89
1.832.238,59
Bila digunakan timbangan nilai pada tahun dasar maka angka indeksnya:
Bila digunakan timbangan nilai pada tahun yang ditentukan maka angka indeksnya:
2. Angka Indeks Agregatif Tidak Tertimbang (Unweighted Index Number): Indeks harga (Price Index):
   a.       Metode Agregatif Sederhana (Simple Aggregative Method)
              Indeks harga termasuk dalam angka indeks yang tidak tertimbang. Yang diperhatikan hanya data harga dari sekumpulan barang pada tahun-tahun yang hendak dicari angka indeksnya, sedang berapa satuan dari sekumpulan barang tersebut yang dibeli atau di produksi tidak diperhatikan.
           Contoh pada tabel dibaawah ini menunjukkan harga rata-rata dari 9 bahan pokok di Kota Surakarta pada tahun 1988 dan 1989. Harga-harga tersebut merupakan harga rata-rata tahunan per satuan barang masing-masing dan dinyatakan dalam rupiah.
Rata-rata Harga 9 Bahan Pokok (dalam Rp) di Kota Surakarta 1988 dan 1989
Jenis Bahan Pokok
Satuan
Harga
1988
1989
Beras kualitas sedang
Kg
158,24
193,38
Ikan asin teri nomor 2
Kg
236,03
308,28
Minyak goreng Princo
Liter
471,47
488,75
Gula pasir SHS
Kg
219,59
249,86
Garam bataan
Bata
13,42
15,00
Minyak tanah
Liter
26,38
30,98
Sabun cuci
Batang
137,24
158,96
Tekstil kasar mori putih
Meter
239,29
304,31
Batik kasar mori biru
Lembar
977,50
1.329,17


2.479,16
3.078,69

Jika harga barang-barang tahun 1989 kita jumlahkan kemudian kita bagi dengan jumlah harga-harga pada tahun 1988 kita peroleh:

Hasil bagi tersebut merupakan perbandingan antara harga-harga tahun 1989 dan 1988. Bila hasil bagi tersebut kita kalikan dengan 100 maka akan kita peroleh 124,18. Angka ini merupakan angka indeks harga 9 bahan pokok tahun 1989 dengam tahun 1988 sebagai tahun dasarnya (1988=100).
Metode membandingkan dua kelompok harga-harga tersebut dinamakan metod agregatif sederhana (simple aggregative method) dan angka indeks yang dihasilkan dinamakan indeks agegatif sederhana (simple aggregative index).
Secara umum index agregatif sederhana dihitung dengan rumus sebagai berikut: 

Indeks harga tahun 1988 = 100
Indeks harga tahun 1989 3.078,69 / 2.479,16 x 100 = 124,18

Harga rata-rata 9 bahan pokok pada tahun 1989 mengalami kenaikan sebesar 24,18% bila dibandingkan pada tahun 1988.
Kelemahan terpenting dri indeks agregatif sederhana adalah bahwa metode tersebut dapat membuahkan hasil yang sangat berbeda jika berbagai komponen dan harganya dinyatakan dalam berbagai satuan. Indeks agregatif sederhana belum dapat memahami sebagai apa yang dinamakan “urut test”, karena barang-barang dinyatakan dengan satuan yang berbeda, misalnya beras dinyatakan dalam kg, garam dalam bataan, minyak gireng dalam liter, tekstil dalam meter dan sebagainya.
Sebagai ilustrasi, dalam menghitung indeks biaya kontruksi tahun 1989 dibanding tahun 1985, dengan anggapan biaya tersebut hanya meliputi dua macam saja yakni biaya tenaga kerjadan harga semen.

1995
1989
Rata-rata upah per jam yang dibayarkan pada pekerja kontruksi
Rp. 155,00
Rp. 150,00
Satu zak semen
Rp. 900,00
Rp. 1.650,00

Dengan mempergunakan rumus tersebut di atas kita peroleh:
 Apabila indeks tersebut didasarkan pada rata-rata upah mingguan, dengan anggapan mereka bekerja35 jam seminggu, akan kita peroleh:


1985
1989
Rata-rata upah mingguan yang dibayarkan pada pekerja kontruksi
Rp. 4.025,00
Rp. 5.250,00
Satu zak semen
Rp. 900,00
Rp. 1.650,00
Dengan satuan yang berbeda ternyata metode aregatifsederhana menghasilkan angka indeks yang sangat berbea satu sama lain.
Di samping kelemahan tersebut ditas, indeks harga tersebut kurang mencerminkan perubahan harga 9 bahan pokok yang benar-benar dibayar konsumen karena jumlah konsumsi 9 bahan pokok tersebut tidak turut diperhitungkan.

 b.       Metode Rata-rata Harga Relatif
Cara lain dalam membandingkan dua kelompok harga adalh pertama-tama kita menghitung indeks secara terpisah untuk masing-masing bahan dari 9 bahan pokok tersebut dan kemudian menghitung rata-rata dari perbandingan (rasio) Pn/P0 dengan menggunakan salah satu ukuran tendensi pusat. 
Untuk menghitung indeks keseluruhan (over-all index) dari gabungan 9 bahan pokok, kita dapat menggunakan mean, median, geometric mean atau cara pengrata-rataan yang lain dari harga relatif.Jika kita menggunakan arithmetic mean dalam pengrata-rataan harga relatif akan kita peroleh seperti dalam contoh dibawah ini:
Harga Relatif 9 Bahan Pokok di Kota Surakarta 



 I = 122,21 + 130,61 + 103,67 + 113,78 + 111,77 + 117,44 + 115,83 + 127,17 + 135, 98 / 9
   = 1.078,46 / 9
   = 119,83

Indeks tersebut dinamakan rata-rata hitung dari harga relatif (arithmetic mean of price relatiives). Secara aljabar dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
Dimana k adalah jumlah komponen barang yang harga relatifnya akan dirata-ratakan.
Apabila kita gunakan median akan kita peroleh I = 117,44. Bila dengan mid-range (rata-rata dari nilai yang terendah dan nilai yang tertinggi), maka:

I = 103,67 + 135,98 / 2 = 119,82

Indeks kuantitatif termasuk angka indeks yang tidak tertimbang seperti halnya pada angka indeks harga. Yang diperhatikan hanya volume fisik dari sekumpulan barang pada tahun-tahun yang akan dihitung angka indeksnya.
Indeks kuantitatif  dengan metode agregatif  sederhana dinyatakan dengan rumus:
                Contoh:
Dibawah ini ditunjukkan data tentang besarnya produksi daging di Indonesia pada tahun 1982-1983 dinyatakan ton:
Produksi Daging di Indonesia 1982-1982 (Ton)
Jenis Daging
1982
Q0
1983
Qn
Sapi
196.080
202.600
Kerbau
57.127
59.630
Kambing
13.915
14.872
Domba
10.986
11.648
Babi
38.620
41.241
Kuda
732
910
Unggas
48.140
48.499
Jumlah
365.600
379.400

                       Indeks kuantitatif tahun 1982 = 100
                         Indeks kuantitatif tahun 1983 adalah 379.400/365.600 x 100 = 103.77
                        Produksi daging di Indonesia pada tahun 1983 mengalami kenaikan 3,77% bila dibandingkan                             produksi daging pada tahun 1982.  

b.       Metode Rata-Rata Kuantitatif Relatif
Kuantitatif relatif dari produksi daging di Indonesia tahun 1982-1983 ditunjukkan dalam tabel dibawah ini:
Kuantitatif Relatif Produksi Daging di Indonesia
Rata-rata hitung kuantitatif relatif dinyatakan dengan rumus :

                        Berdasarkan data tabel diatas dapat disubstitusikan:

I = 752, 48 / 7 = 107, 50
Bila digunakan median maka I = 106,03 dan bila digunakan midrange

I = 100,75 + 124, 32 / 2 = 112, 54

       D. Penggunaan Angka Indeks dalam Pendeflasian
Bagi sebagian besar buruh dan pegawai pemerintah yang mempunyai upah relatif tetap maka upah nyata (real wage) lebih berarti daripada upah uang (money wage) yang diterima. Upah uang adalah upah yang diterima pekerja dalam bentuk uang, sedang upah nyata adalah yang daya beli (purchasing power) daru upah uang yang diterima. Daya beli dari upah uang tersebut sangat dipengaruhi oleh harga umum dari barang-barang konsumsi atau biaya hidup (cost of living).
Upah pegawai dinaikkan 25% padatahun 1980 dibandingkan tahun sebelumnya, kenaikan ini tidak akan berarti bila upah nyata tidak ikut naik.
Untuk mengetahui besarnya upah nyata dari suatu upah uang harus tersedia data indeks biaya hidup pada tahun yang bersangkutan. Contoh:
Upah Uang dan Upah Nyata Buruh
Perusahaan Industri di Kawasan Tertentu 1987-1996
Tahun
Rata-Rata
Upah Mingguan
Indeks Biaya Hidup 1988=100
Upah
Nyata
1987
5.030
98,0
5.132
1988
5.465
100,0
5.465
1989
5.521
102,2
5.402
1990
6.018
101,8
5.911
1991
6.525
104,5
6.244
1992
6.800
108,1
6.229
1993
7.112
108,9
6.531
1994
7.447
110,0
6.770
1995
7.873
112,1
7.010
1996
7.925
113,1
7.007

                 Upah nyata pada kolom tiga diperoleh dengan cara membagi upah uang dengan indeks biaya hidup
Proses menghitung upah nyata dengan cara mengkalikan uapah uang dengan daya beli rupiah atau upah uang dibagi dengan indeks harga dinamakan proses pendeflasian (deflating).
Kenaikan upah uang dari tahun 1987 sampai degan tahun 1996:
Kenaikan upah uang tidak dapat mengimbangi kenaikan indeks harga yang terjadi sehingga kenaikan upah nyata menjadi kurang dari sebanding.

 E.     Penggunaan Angka Indeks
Menutut Dubois (1964:206), menghitung dan mempelajari angka indeks mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut:
1.       Daya Beli (Purchasing Power)
Kebalikan daripada angka indeks dapat digunakan untuk menunjukkan daya beli rupiah relatif pada suatu macam komoditi yang harganya diukur dengan indeks. Daya beli itu sendiri merupakan angka relatif terhadap periode dasar di mana indeks disusun.
Misalnya pada bulan Januari 1992 semua komponen indeks harga konsumsi adalah 104,5, dengan periode dasar 1087-1989 (=100). Daya beli satu rupiah konsumsi pada bulan Januari 1992 dibanding periode dasar 1087-1989  rupiah atau 95,7 sen.
Pada waktu yang sama indeks harga tersebut menunjukkan 128,2% dengan periode dasar 1987-1989. Ini berarti daya beli satu rupiah konsumsi pada bulan Januari 1992 dibanding periode dasar 1987-1989 adalah  = 0,78 rupiah atau 78 sen.
Bila indeks harga lain yang dipergunakan, juga akan menunjukkan daya beli satuan uang seperti halnya contoh tersebut diatas.
2.       Pendeflasian (Deflation)
Kegunaan lain dari angka indeks ialah hasil bagi serangkaian nilai upah selama jangka waktu tertentu dengan serangkaian angka indeks harga untuk mengetahui besarnya perubahan secara fisik untuk jangka waktu tersebut. Misalnya serangkaian hasil penjualan barang eceran dapat dibagi dengan indeks harga eceran untuk menentukan berapa banyak kenaikan telah terjadi dengan melihat kenaikan volume barang yang dijual. 
3.       Eskalator (Escalators)
Angka indeks digunakan dalam pelaksanaan “syarat penyesuaian” dalam berbagai kontrak. Indeks harga konsumen digunakan sebagai eskalator dalam banyak perjanjian kerja (konrak upah), upah disesuaikan naik-turun mengikuti naik turunnya gerakan indeks. Indeks harga grosir atau beberapa komponennya dapat digunakan sebagai eskalator untuk penyesuaian harga-harga pada waktu pengiriman barang dalam kontrak dagang jangka panjang.
4.       Mempelajari Kondisi Dunia Niaga (Studying Business Conditions)
Angka indeks dapat dipelajari sebagai indikator dari kondisi dunia niaga pada umumnya. Aktivitas studi tersebut, beserta studi indikator-indikator yang lain, mrupakan langkah awal dalam membuat ramalan dan perencanaan dalam dunia niaga (forecasting dan panning). Indeks harga grosir dean komponen-komponen yang dipelajari oleh perusahaan dengan mengikuti dasar pergerakan harga dan perencanaan kebijakan harga, merupakan bidang analisis tersebut. Perusahaan dapat membandingkan pergerakan harga perusahaan dengan indeks tersebut. Indeks dari produksi industri dan komponen-komponennya dapat dipelajari dengan mengikuti perubahan volume fisik, membuat perbandingan-perbandingan, dan kemudian membuat perencaaan yang sesuai. Dan banyak indeks khusus yang lain dpat dipelajari dengan seksama dalam bidang operasinya masing-masing, yang mana sekiranya dapat dimanfaatkan.[1]

Sumber:
J. Supranto. Statistik Teori dan Aplikasi. 2008. Jakarta: Penerbit Erlangga
Drs. Djarwanto Ps. Statistik Sosial Ekonomi. 2001. Yogyakarta: BPFE



[1] Djarwanto, Statistik Sosial dan Ekonomi, (Yogyakarta, Penerbit: BPFE-YOGYAKARTA, 2001), hal:273


[2] J. Supranto, Statistika Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), hal. 291-296






Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH SOAL DAN PEMBAHASAN REGRESI LINEAR BERGANDA

PROBABILITAS PENDEKATAN SUBJEKTIF

PENGENALAN STATISTIKA DALAM MATEMATIKA SD